Srikandi Terkini
Indonesia
Indonesia tengah
berbangga ketika seorang putri terbaiknya bernama Sri Suryawati, berhasil
terpilih menjadi anggota International
Narcotics Control Board (INCB). INCB adalah lembaga pengawas independen dan
bersifat quasi-judicial yang
mencermati implementasi berbagai konvensi PBB terkait narkotika dan obat-obatan
oleh para negara pihak. Berdiri pada tahun 1968 sebagai mandat dari Single Convention on Narcotics Drugs
Tahun 1961 untuk menyederhanakan mekanisme pengawasan internasional, INCB
sebenarnya telah memiliki akar organisasi sejak era Liga Bangsa-Bangsa.
Keanggotaan INCB terdiri dari 13 pakar yang
dipilih oleh Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) berdasarkan kapasitas pribadi
mereka, bukan berdasarkan perwakilan maupun komposisi percaturan politik dari negara
anggota. Tiga diantaranya, termasuk Prof. Sri Suryawati, merupakan pakar yang dipilih
khusus karena keahliannya dibidang medis, farmakologi dan farmasi melalui
rekomendasi dan nominasi dari World
Health Organization (WHO).
Prof. Suryawati adalah ahli farmakologi dengan
spesialisasi dalam clinical
pharmacokinetics dan mendapatkan gelar Guru Besarnya dari Universitas Gajah
Mada (UGM). Saat ini beliau juga merupakan Kepala Pusat Studi Farmakologi Klinis
dan Kebijakan Obat pada Fakultas Kedokteran UGM. Dari segi pengalaman
internasional, sejak tahun 1999 beliau telah menjadi WHO Advisory Panel on Medicine Policy and Management, Dewan
Eksekutif pada International Network for
Rational Use of Drugs (INRUD) sejak 2005 dan juga Wakil Presiden INCB sekaligus
Ketua Standing Committee on Estimates
INCB tahun 2010.
Dalam pemilihan di Markas PBB, New York, tanggal
25 April 2013 tersebut, Prof. Suryawati berhasil meraih 42 suara dari 54 negara
anggota ECOSOC, sedangkan dua pesaingnya dari Estonia dan Suriah masing-masing hanya
mendapatkan lima suara. Pemilihan ini merupakan special session, sesuai
dengan pasal 10 paragraf 5 dari Konvensi 1961, dikarenakan Prof. Hamid Ghodse,
salah satu anggota INCB dari Iran yang dinominasikan WHO meninggal dunia pada bulan
Desember 2012. Prof. Ghodse terpilih untuk periode 5 tahun sejak 2012, sehingga
Prof. Suryawati akan menggantikannya pada sisa masa keanggotaan hingga 1 Maret 2017.
Mengutip Wakil Tetap RI untuk PBB, Duta Besar
Desra Percaya, “Terpilihnya Profesor Suryawati tidak hanya menunjukkan
pengakuan atas kepakaran beliau pada isu kerjasama internasional dalam
pengawasan narkotika, namun juga mencerminkan kepercayaan masyarakat
internasional terhadap peran dan kontribusi Indonesia di berbagai kerjasama
internasional dalam kerangka PBB.”
Sejumlah negara berharap duduknya Indonesia pada
INCB akan memajukan kerjasama penanganan pengawasan obat-obatan narkotik di
tingkat internasional. Selain membawa nama bangsa Indonesia dan kapasitas
pribadi beliau, Prof. Suryawati juga mendapatkan tugas berat untuk menegaskan
citra positif INCB di tengah berbagai kritik terhadapnya.
Kritik
terhadap independensi INCB
Laporan tahunan INCB adalah referensi valid bagi
tiap pemerintah dalam mengambil kebijakan terhadap kondisi narkoba terkini baik
di kawasan maupun secara global. Laporan ini merupakan intisari dari laporan resmi
masing-masing negara mengenai trend
lalu-lintas maupun penyalahgunaan narkoba dari masing-masing negara. Laporan
untuk Tahun 2012 telah secara resmi diterbitkan pada bulan Maret 2013. Namun,
laporan ini mendapat kritik keras dari kalangan yang mengadvokasi legalized use of drugs dengan mendengungkan
bahwa terdapat indikasi bias dan kelalaian dalam laporan tersebut yang melemahkan
upaya perang terhadap penyalahgunaan narkoba. Pertanyaan klasik yang timbul
adalah juga adalah ‘siapa yang mengawasi lembaga pengawas peredaran obat-obatan
internasional tersebut?’
Hasil kerja INCB dimaksudkan untuk menjamin keseimbangan
dalam kontrol obat-obatan dan ketersediaan legal
narcotics yang dipergunakan untuk alasan medis dan kesehatan. Namun laporan
tersebut dikritik memberikan penekanan yang lebih berat pada sisi penghukuman.
Laporan kunjungan INCB ke berbagai negara selama tahun 2012 juga kurang
menghasilkan inovasi yang mampu meningkatkan respon negara-negara tersebut
untuk mengurangi penyalahgunaan narkoba dan menangani mantan pecandu narkoba.
Dalam laporannya yang mengkritik praktik penggunaan
marijuana untuk alasan medis, INCB juga tidak menunjukkan keseriusan yang
lebih. INCB memang menjelaskan tentang bahaya sosial dan telah mengecam
selebritas dan tayangan yang menampilkan penggunaan marijuana, namun dalam
kasus Kanada tidak ada basis data dan penelitian yang detail. Kanada telah
melegalkan penggunaan marijuana dengan resep yang digunakan untuk mengurangi
efek rasa sakit dan meningkatkan nafsu makan, namun jika INCB berniat untuk
memberikan kritik keras maka dibutuhkan studi kasus maupun bentuk-bentuk
catatan kaki lainnya untuk memperkuat argumen mereka, namun pada laporan tahun
2012 hal ini tidak ditemukan.
Para penganut pendekatan harm reduction mengajukkan kritik yang lebih tajam kepada kinerja
INCB. Laporan INCB mengenai ekspor illegal methadone
dari Latvia yang diproduksi oleh beberapa laboratoriumnya menuju Rusia merupakan
salah satu subjek yang tersorot. INCB melupakan, atau tidak menyebutkan bahwa methadone dan buprenorphine adalah zat-zat
yang terlarang di Russia di tengah epidemi AIDS di negara tersebut yang terkonsentrasi
di antara para pengguna narkoba. Kedua zat tersebut oleh WHO telah dinyatakan
sebagai zat yang esensial untuk mengurangi metode suntik heroin dan mengobati
HIV. Para ahli, termasuk yang bertugas di UN Office on Drugs and Crime (UNODC) telah sepakat dalam
penilaian mereka bahwa kedua zat tersebut sangat dibutuhkan untuk penyembuhan
mereka yang kecanduan heroin. INCB, sebagai institusi internasional yang
independen, seharusnya dapat juga mengarahkan kritiknya kepada Russia disamping
hanya berhenti kepada Latvia yang melakukan praktik perdagangan illegal dan
tidak menyentuh sisi lainnya yang masih terkait.
Selain itu dilaporkan juga terdapat 220.000 orang
yang sedang menjalani proses rehabilitasi pada ‘compulsory treatment centers’ di China.
Namun, seperti halnya laporan tentang Russia, INCB memilih untuk tidak
melaporkan mengenai keadaan para penghuni center-center
dimaksud. Hal ini sangat mengejutkan memperhatikan bahwa UNODC dan beberapa LSM
internasional telah merekomendasikan untuk menutup tempat-tempat tersebut. Center tersebut juga lebih bersifat
sebagai tempat detensi dan tidak terdapat bukti meyakinkan bahwa proses
rehabilitasi berjalan efektif. Pelanggaran HAM juga diindikasikan telah terjadi
kepada para penghuninya dimana terdapat mekanisme kerja paksa dan beberapa
bentuk penyiksaan yang dapat dikategorikan melanggar hukum internasional.
Pusat-pusat
rehabilitasi yang didisain lebih seperti tempat detensi mengkondisikan penghuninya
untuk berada pada ruangan terkunci. Laporan country
visit INCB ke Peru ternyata juga tidak menyebutkan tragedi tewasnya 14
pecandu narkoba pada pusat rehabilitasi terkunci. Kejadian tersebut terjadi
hanya beberapa bulan sebelum kunjungan tim ahli INCB, bahkan beberapa hari
setelah kunjungan berakhir, sejumlah warga negara Peru kembali tewas pada
kebakaran di ‘religious therapeutic
community’, suatu komunitas rehabilitasi yang menggunakan pendekatan religius.
Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Russia, Kazakhstan dan beberapa negara
lain dimana sistem yang mewajibkan pintu dan jendela terkunci pada pusat
rehabilitasi berakibat fatal. INCB juga tidak memberika komentar terhadap ‘religious therapeutic communities’ yang
memiliki standar klinis yang buruk dan banyak terdapat tanda-tanda pelanggaran
HAM.
LSM
internasional yang bergerak di bidang HAM dan mereka yang anti terhadap hukuman
mati juga melancarkan kritik terhadap laporan INCB 2012. Kritik diarahkan pada
laporan kunjungan ke Arab Saudi di tahun 2012, dimana INCB memuji komitmen
Pemerintah Raja Abdullah dalam memerangi penyalahgunaan narkoba, namun tidak
memberi catatan mengenai penghukuman mati terhadap 16 penyalahguna narkoba,
bahkan beberapa diantaranya adalah penyalahguna dengan kategori ringan. The UN Human Rights Committee telah
mengecam pemberlakuan hukuman mati bagi
penyalahguna narkoba, yang merupakan efek paling mengerikan dan salah sasaran
dalam perang melawan narkoba.
Laporan
Tahunan INCB 2012 juga dianggap tidak memiliki bobot dibandingkan dengan
laporan serupa dari the Special
Rapporteur on Torture yang dipublikasikan pada minggu yang sama. Dalam
laporan dimaksud, Human Rights Council mencatat
bahwa ‘drug detention centers’ di
beberapa negara bertanggung jawab atas perlakuan yang kejam, tidak
berperikemanusiaan dan sangat merendahkan. Dalam laporan tersebut juga
disinggung mengenai pelarangan atau ilegalisasi methadone dan buprenorphine juga
dianggap tidak berperikemanusiaan.
Mandat
konvensi, integritas dan kapasitas pribadi
INCB
beroperasi sesuai dengan mandat konvensi. Baik UN Single Convention on Narcotics Drugs, 1961, UN Convention on Psychotropic Substances,
1971 dan UN Convention against Illicit
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988, melarang
penggunaan narkoba jenis kokain, opium dan ganja selain untuk tujuan medis atau
penelitian. Sementara dari sisi pendekatan harm
reduction dan legalized drugs,
ketiga konvensi tersebut harus dimofifikasi sesuai dengan interpretasi mereka
terhadap hak asasi manusia. Prof. Sri Suryawati yang diharapkan dapat menjadi
pakar yang bebas nilai dan pengaruh politis berperan besar untuk menegaskan
kembali bahwa INCB tidak memihak atau tunduk pada tekanan negara atau kelompok
lobby tertentu, namun bekerja sesuai dengan mandatnya. Terhadap harm reduction, walaupun tidak ada
definisi global untuk istilah ini, upaya minimalisir efek buruk terhadap
pengguna narkoba yang tidak mampu untuk keluar dari jerat narkoba tetap
dianggap sebagai upaya yang bertentangan dengan program ‘demand reduction’. Ketiga konvensi narkoba tersebut memiliki nilai,
standard dan norma yang telah disepakati secara internasional sesuai dengan
keadaannya saat ini, dengan tidak mengesampingkan pandangan-pandangan lain, INCB
tetap akan mempertimbangkan kekinian isu dan asumsi-asumsi baru yang
berkembang. Namun, selama kritik yang muncul bukanlah pandangan umum secara
global saat ini, salah satunya seperti pendekatan yang bertujuan untuk
melegalkan penggunaan narkoba secara lebih liberal, maka oleh karena itu sesuai
dengan mandat konvensi sebagai wujud konsistensi, pendekatan di luar
nilai-nilai konvensi tidak akan diakomodir dalam Laporan Tahunan INCB.
Disamping
itu, laporan tahunan yang dikeluarkan oleh INCB juga merupakan laporan resmi
dari masing-masing negara. Setiap negara memiliki kewajibannya masing-masing
untuk mengawasi dan mengontrol peredaran narkoba pada wilayah yurisdiksinya.
Mekanisme kunjungan atau country mission
INCB juga berdasarkan komposisi kawasan, program-program terkini maupun isu
yang membutuhkan perhatian segera, dimana bentuk pelaporannya dalam kerangka treaty compliance atau kepatuhan
terhadap konvensi dari negara-negara yang dikunjungi. Country mission juga memungkinkan INCB untuk mendapatkan informasi
kelas satu selain dapat bertemu langsung dengan institusi negara yang kompeten
dalam penanganan penyalahgunaan narkoba. Kunjungan juga dimaksudkan untuk menstimulasi
dan mendorong komitmen maupun program-program baru yang dapat dimunculkan di
suatu kawasan atau negara tertentu. Dalam hal ini, kemampuan persuasi dari
anggota-anggota INCB menjadi sangat signifikan disamping imparsialitas mereka.
Negara yang dikunjungi dan menerima rekomendasi dari INCB akan secara wajar
memiliki kecurigaan dengan agenda yang mungkin dibawa dari masing-masing anggota,
namun integritas para anggotanya akan dapat dibuktikan melalui rekam jejak selama
karier profesionalnya, dan dalam hal ini Prof. Suryawati memiliki track record yang baik.
Kapasitas
Prof. Suryawati sebagai ahli dibidangnya telah dibuktikan dengan dikukuhkannya
beliau sebagai guru besar dan tetap aktif dalam dunia akademisi baik sebagai
peniliti maupun pembimbing calon guru besar. Dalam kapasitasnya sebagai ahli
farmakologi internasional, Prof. Suryawati juga aktif sebagai peniliti dan juga
duduk dalam kepengurusan lembaga-lembaga internasional terkait kesehatan dan
obat-obatan.
Dalam
kebijakan nasional penanggulangan penyalahgunaan narkoba, Indonesia berprinsip
bahwa mencegah arus keluar masuk narkoba dan prekursornya secara illegal adalah
prioritas utama, bahkan arus keluar masuk yang legal pun diawasi secara ketat.
Untuk itu Indonesia berprinsip pada pendekatan
berimbang antara “supply and demand reduction” secara komprehensif dan
terintegrasi. Indonesia juga berprinsip pada permasalahan narkoba sebagai “shared
responsibility” yang harus ditangani secara bilateral, regional maupun
multilateral. Mengingat aspek transnasionalnya ini, kerjasama
internasional merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh setiap negara. Prinsip kerjasama
tersebut pun jelas, yakni to regulate, to
combat illicit drugs trafficking, to deter drugs abuse, and to make sure the
legal narcotics use. Garis besar kebijakan ini juga akan dibawa oleh Prof.
Sri Suryawati dalam masa baktinya sebagai anggota INCB untuk menjalankan
tugas-tugasnya sesuai dengan mandat konvensi, keberadaan beliau dengan rekam
jejaknya yang positif juga akan meminimalisir tuduhan bias dalam setiap laporan
maupun rekomendasi yang dikeluarkan oleh INCB.
Referensi
& related links:
1. Report of the
International Narcotics Control Board for 2012
2. Daniel
Wolfe, Is the INCB Dangerous to Your Health? 3 April 2013, The Huffington Post.
3.
Open
Society Institute, Closed to Reason: The International Narcotics Control Board
and HIV/AIDS.
www.incb.org; www.bnn.go.id; www.depkes.go.id