Sejak
pertama kali bergulir di tahun 2002, Bali
Regional Ministerial Conference on
People Smuggling, Trafficking
in Persons, and Related Transnational Crime atau yang kemudian lebih
dikenal dengan Bali Process telah
berhasil menyeragamkam pemahamanan dan membangun saling pengertian di antara
negara-negara anggotanya. Permasalahan terkait dengan irregular migration, arus people
smuggling dan trafficking in persons
di kawasan Asia-Pasifik yang telah disadari tidak dapat ditangani secara
parsial, telah mendorong Indonesia bersama dengan Australia untuk menginisiasi
mekanisme intra-regional guna mengatasi permasalahan lintas negara bahkan
lintas kawasan tersebut. Forum yang terbentuk berupa Regional Consultative Process (RCP) yang
sifatnya inklusif dan tidak mengikat, serta bertujuan untuk meningkatkan kerja
sama antar-negara dalam mengurangi irregular
movement di kawasan.
Sebagai
suatu RCP, Bali Process memiliki
keunikan yang menjadi keunggulan dibandingkan forum serupa yaitu sebagai
satu-satunya yang mempertemukan negara asal, transit dan tujuan dari irregular migration. Bali Process membangun fondasi krusial
yaitu rasa ‘confidence’ di antara
negara anggota yang tidak lagi saling menyudutkan satu sama lain, namun duduk
secara bersama-sama membicarakan permasalahan secara konstruktif dan tanpa
paksaan.
Dengan
45 negara dan 3 Organisasi Internasional sebagai anggota, sementara 18 negara menjadi
partisipan, dan 10 organisasi internasional lainnya sebagai observer terlibat di dalamnya, Bali Process menjadi forum yang efektif
dalam formulasi kebijakan, diseminasi informasi dan transformasi teknologi
maupun pembangunan kapasitas antar sesama anggotanya.
Pada
dasarnya Bali Process bertujuan untuk
mendorong hal-hal seperti (1) pertukaran informasi mengenai irregular migration di kawasan; (2)
kerjasama penegakan hukum; (3) kerjasama
sistem perbatasan dan visa untuk mendeteksi dini dan mencegah pergerakan
irregular; (4) peningkatan kesadaran bersama di kawasan mengenai kejahatan
terkait irregular migration; (5)
pembuatan undang-undang domestik masing-masing negara untuk
mengkriminalisasikan penyelundupan dan perdagangan manusia; (6) pendekatan
perlindungan terhadap para korban perdagangan manusia terutama perempuan dan
anak; (7) penanganan akar penyebab irregular
migration; (8) membantu negara anggota dalam asylum management sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Pengungsi.
Latar
belakang tersebut sekilas menunjukkan bahwa Bali
Process berfokus pada rezim kerjasama penegakkan hukum walaupun juga dalam
setiap outcome document-nya
disebutkan mengenai perlindungan terhadap korban, baik yang tidak sadar maupun
yang secara sadar memanfaatkan sindikat kriminal regional.
BRMC V
Pada
bulan April 2013 Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) Bali Process telah diselenggarakan untuk kelima kalinya. BRMC V ini
meneruskan konkretisasi hasil PTM sebelumnya yang merumuskan suatu regional cooperation framework (RCF)
dengan beberapa prinsip, yaitu (1) memberantas migrasi irregular yang difasilitasi oleh sindikat penyelundup dan seluruh
negara anggota diwajibkan mendorong praktik migrasi secara teratur; (2)
diharapkan setiap pencari suaka mendapatkan akses yang sama terhadap assessment process di seluruh kawasan
(3) barang siapa yang terbukti sebagai pengungsi maka wajib disediakan solusi
yang berkelanjutan, yaitu voluntary
repatriation, resettlement atau ‘in country solution’; (4) barang siapa yang tidak terbukti sebagai pengungsi
harus dikembalikan, terutama atas azas kesukarelaan (5) peningkatkan jaringan
pengamanan perbatasan, penegakkan hukum dan ‘disincentives’ bagi para pencari suaka yang memanfaatkan sindikat
penyelundup.
Kerangka
kerja tersebut telah mengerucut menjadi sebuah Regional Support Office (RSO) yang dikukuhkan dalam BRMC V. RSO
yang berlokasi di Bangkok, Thailand, ini berfungsi sebagai institusional memory untuk seluruh kegiatan Bali Process yang diselenggarakan dalam kerangka RCF, serta mengkondisikannya untuk semakin terarah, terstruktur,
dan berkesinambungan, walaupun tidak akan merubah ‘nature’ Bali Process sebagai
RCP yang bersifat voluntary dan non binding. RSO ini tidak
dimaksudkan untuk menjadi Regional
Processing Center, atau sebuah pusat untuk menangani Refugee Status Determination (RSD) dalam lingkup kawasan, namun
dalam proses pembentukannya asumsi pull
factor yang akan timbul pada negara lokasi dapat dipahami. Pull Factor adalah gaya tarik dari
negara-negara di kawasan untuk menjadi tujuan maupun transit dari kegiatan irregular migration, salah satunya
adalah rezim penanganan yang manusiawi. Indonesia, misalnya, selalu dianggap
sebagai safe third countries oleh
negara lain di kawasan karena faktor penanganan irregular migration yang manusiawi bahkan sedikit banyak telah
memenuhi standar yang diberlakukan dalam Konvensi Pengungsi 1951.
Jika
telah berfungsi secara optimal, RSO dapat menjadi titik pusat ‘information sharing’ dalam perlindungan
pengungsi maupun migrasi internasional di kawasan. Kerjasama antara RSO dan
JCLEC juga berpotensi menjadi pusat pertukaran ‘best practices’ dan pusat
sumber daya teknis di kawasan yang konkrit dan bermanfaat bagi anggota Bali
Process. RSO juga diharapkan dapat menjadi pusat koordinasi harian antara
negara anggota dalam penyediaan bantuan logistik, administrasi dan operasional
penanganan isu penyelundupan manusia dan perlindungan pengungsi yang
dikembangkan dalam kerangka kerjasama regional.
Managing
Expectation
Delapan pencari suaka, atau lebih tepatnya pendatang gelap dalam
terminologi Indonesia, asal Myanmar tewas dalam insiden dengan etnis Rohingya
di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Myanmar, Medan, Sumatera Utara.
Mengesampingkan faktor penyebab tragedi 5 April 2013 ini, Rudenim Belawan
berada dalam kondisi ‘overcrowded’
dan ‘understaffed’. Fasilitas
tersebut didisain untuk 50 pelanggar keimigrasian, namun saat ini harus
menampung tidak kurang dari 480 orang.
Tidak lama setelah insiden tersebut, tragedi terkait irregular migration memunculkan jumlah
korban yang lebih memperihatinkan yaitu kejadian tenggelamnya kapal yang
bermuatan 72 pencari suaka dari Afghanistan, dimana pada tanggal 15 April 2013
hanya terdapat 14 yang berhasil diselamatkan penduduk setempat bersama Tim SAR.
58 penumpang lainnya hingga dua minggu setelah tenggelamnya kapal belum dapat
ditemukan.
Kejadian-kejadian ini menambah panjang daftar insiden yang
disebabkan oleh irregular migration di
Indonesia. Data resmi tahun 2012 mencatat terdapat 7.218 pencari suaka yang
terdaftar berada dalam wilayah yuridiksi Indonesia, sementara jumlah resettlement dan voluntary return semakin berkurang menjadi hanya sejumlah
berturut-turut 247 dan 190 pengungsi di tahun 2012. Jumlah ini, secara wajar
semakin menuntut perhatian yang lebih daripada sebelumnya, dimana terdapat
sebagian pendapat yang mendorong aksesi Indonesia kepada Konvensi Pengungsi
1951 akan menjadi solusi setidaknya secara domestik. Direktur
Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemlu, Febrian Ruddyard,
berpandangan bahwa tantangan terbesar bagi Bali
Process adalah menyelaraskan antara berbagai harapan publik dengan jalannya
proses diplomasi yang dalam beberapa hal
menjadi lebih efektif dibandingkan legally
binding forum, termasuk dalam isu irregular
migration.
Penyelenggaraan
PTM sejak 2002 yang hampir selalu diawali oleh insiden irregular migration menimbulkan persepsi bahwa Bali Process merupakan ‘incident
driven forum’, terutama insiden terkait people
smuggling by sea. Pada tahun
1999, 2000 dan 2001 secara berturut turut terdapat 3.721, 2.939 dan 5.516
pencari suaka yang menggunakan 86, 51 dan 43 kapal menyabung nyawa melalui laut
menuju Australia atau Selandia Baru. Arus berbahaya perjalanan migran ini
sempat terhenti dan akhirnya meningkat kembali pada tahun 2009 dan 2010
sebanyak 2.849 dan 6.879 pencari suaka dan/atau pengungsi dengan menggunakan 61
dan 134 kapal memutuskan untuk mengambil jalan pintas menuju negara tujuan
mereka. Selain rezim perlindungan terhadap pengungsi yang telah baik di
Australia, keberadaan keluarga dari sebagian pengungsi atau pencari suaka
mengkondisikan mereka untuk menyusul ke Australia.
Sementara
dari sudut pandang lain, respon cepat pada level pejabat setingkat Menteri
untuk dapat berkumpul bersama dan menghasilkan keputusan politik dengan bobot yang
tinggi merupakan hal yang positif. Bali
Process juga tidak sekedar PTM, namun komunikasi pada level High Level Officials, maupun pada level
praktisi dan juga para ahli untuk sharing
best practices dan mengembangkan kapasitas bersama, telah terjalin dan terjadwal
secara berkesinambungan. Selain itu, Bali Process juga telah bergerak pada
level operasional yang ditunjukkan dengan kerjasama RILON, dimana negara
anggota dapat secara cepat bertukar informasi sehingga dapat mengantisipasi
segala ancaman dan resiko yang berpotensi muncul.
Partisipasi
aktif dan kepemimpinan Indonesia pada Bali
Process akan memberikan manfaat langsung dalam menghadapi masalah dan
ancaman yang dimunculkan oleh penyelundupan manusia dan juga perdagangan orang,
yaitu terutama melalui pertukaran informasi, pengembangan jejaring dan kerja
sama internal maupun eksternal antar lembaga negara. Selain itu segala kegiatan
di dalam Bali Process akan semakin
memperkuat upaya Indonesia dalam meningkatkan kesadaran masyarakat pesisir di
Indonesia sehingga mereka terhindar dari jeratan melakukan kejahatan
penyelundupan manusia dan perdagangan orang.
10
Tahun Bali Process dan dilema
penanganan isu penyelundupan manusia.
Dengan
letak geografis yang strategis dan luas wilayahnya yang besar, Indonesia lebih
merupakan negara transit bagi kegiatan penyelundupan manusia namun seiring
dengan perkembangan politik kawasan, Indonesia juga telah menjadi negara tujuan
pencari suaka. Etnis Rohingya adalah salah satu kelompok pencara suaka yang
menjadikan Indonesia sebagai tujuan, walaupun hal ini masih dapat
diperdebatkan, pelarian tidak hanya karena kedekatan secara geografis namun
juga karena sentimen persamaan agama.
Peringatan
10 tahun Bali Process pada November
2012 memberikan harapan positif bagi penanganan permasalahan people smuggling dan kejahatan lintas
negara terorganisir lainnya. Tetap bertahan dan aktifnya forum ini sendiri
merupakan indikator positif terhadap upaya diplomasi di kawasan. Selain itu
rasa saling percaya dan menghormati dari masing-masing negara untuk tidak
saling menyalahkan dan komitmen untuk terus mengatasi permasalahan secara
bersama-sama menjadi asset berharga Bali
Process. Baik negara asal, transit maupun tujuan memiliki keinginan yang
semakin kuat dalam berbagi beban (burden
sharing) dalam lingkup kawasan. Secara lebih konkrit pertukaran data dan
informasi di antara negara anggota telah terbina dan telah mampu mencegah atau
bahkan menyelesaikan kasus per kasus permasalahan people smuggling.
Rasa
saling menghargai ini salah satunya tercermin ketika Bali Process membahas permasalah irregular migrants yang berasal dari Myanmar, dalam hal ini etnis
Rohingya. Diskusi Bali Process tidak
diarahkan untuk mengecam atau menekan Myanmar sebagai negara asal, namun
dibicarakan dalam konteks tanggung jawab (burden
sharing) negara asal, transit dan tujuan termasuk addressing root causes. Karena ketika rekomendasi forum terhadap
isu dimaksud terbentuk, Myanmar sebagai negara asal tidak merasa dihakimi
karena mereka juga dilibatkan sebagai bagian dari solusi. Bali Process memungkinkan Myanmar untuk duduk bersama dalam satu
kesempatan dengan Bangladesh, India, Malaysia, Thailand, dan Republik Rakyat
Tiongkok serta Indonesia, sebagai negara-negara yang terkait dengan isu
Rohingya, sehingga dapat menghasilkan solusi komprehensif yang dapat diterima
oleh semua pihak. Terbangunnya rasa kepercayaan di antara negara-negara anggota
dan pihak-pihak terkait menipiskan ‘lack
of trust’ diantara berbagai negara dan institusi-institusi terkait isu
kejahatan lintas negara terorganisir, khususnya penyelundupan manusia.
Isu
Pengungsi di Indonesia
Seperti
telah dibahas sebelumnya, walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB
menentang Transnational Organized Crime
(UNTOC) dan protokolnya yang terkait dengan penyelundupan manusia serta menterjemahkannya
dalam UU Imigrasi terbaru, yaitu UU nomor 6 tahun 2011, namun Indonesia belum
meratifikasi Konvensi Pengungsi (Refugee
Convention 1951). Aturan hukum bagi para ‘merchants of misery’ ini memang sudah jelas, namun bagi para
pencari suaka ataupun mereka sudah sudah memiliki status pengungsi dari United Nation High Commissioner for Refugee (UNHCR),
belum terdapat status maupun aturan hukum yang jelas.
Dari
sudut pandang hukum, untuk meratifikasi sebuah konvensi internasional,
pemerintah wajib menerapkan azas 4 aman, yaitu aman secara politis, national security, yuridis, dan aman
secara teknis. Aman secara politis berarti instrumen hukum internasional
dimaksud tidak bertentangan dengan Politik Luar Negeri dan kebijakan Hubungan
Luar Negeri Pemerintah Republik Indonesia. Aman dari sudut pandang national security dimaksudkan agar
menjadi pihaknya Indonesia tidak mengganggu atau mengancam stabilitas dan
keamanan dalam negeri. Aman secara yuridis berarti tidak ada pertentangan
dengan hukum nasional dan tidak pula bertentangan dengan Perjanjian
Internasional lainnya bilamana Indonesia menjadi pihaknya. Sementara aman
secara teknis berarti seluruh instansi pemerintah terkait dapat melaksanakan
segala kewajiban yang timbul atau secara teknis tidak menyulitkan ketika
Indonesia memutuskan menjadi pihak instrumen hukum internasional tersebut.
Dari
sisi kemanusiaan, Indonesia telah secara historis mengakomodasi keberadaan
pengungsi untuk sementara berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia.
Didirikannya Pusat Pemrosesan Pengungsi di pulau Galang sejak 1979 hingga resmi
ditutup pada tahun 1996 serta tidak diterapkannya ‘blanket mechanisme´, sebuah aturan tidak tertulis bahwa para
pencari suaka dan pengungsi yang berada di suatu wilayah untuk tidak dibatasi
ruang geraknya, maupun penghormatan terhadap azas ‘non-refoulment’ menunjukkan betapa manusiawinya perlakuan pemerintah Indonesia terhadap mereka. Selain itu, jika merujuk pada tindakan
Australia pada tahun 2009 ketika mereka menggiring kapal bermuatan 254 pengungsi
Sri Lanka dan juga mengirim balik 78 lainnya dengan kapal berbendera Australia,
Oceanic Viking, menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam kategori ‘safe third country’ yang dirumuskan
dalam Michigan Guidelines on Protection
Elsewhere. Indonesia yang telah meratifikasi dan comply terhadap kewajiban beberapa traktat Hak Asasi Manusia
internasional, serta telah terbukti memiliki ‘good faith’ dalam penanganan pengungsi secara hukum memenuhi syarat
sebagai negara yang dapat ditinggali oleh para pengungsi.
Konvensi
Pengungsi 1951 dan Protokolnya tahun 1967 memang didisain untuk mengatasi
permasalahan pengungsi pasca perang dunia II, dan merupakan salah satu konvensi
internasional terawal yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sementara itu, baik pencari suaka maupun pengungsi sejak awal abad XXI lebih
banyak termotivasi oleh latar belakang ekonomi, walaupun tetap terkait juga
dengan permasalah politik dan keamanan. Ide awal untuk memberikan perlindungan
internasional bagi para pengungsi ternyata menjadi beban tersendiri bagi
negara-negara tradisional tujuan pengungsi, sehingga muncul kejenuhan dan
memaksa sebagian di antaranya untuk membentuk mekanisme untuk menghindari
kewajiban Konvensi. Belum terciptanya mekanisme burden sharing yang jelas juga menjadi demotivasi bagi
negara-negara yang belum meratifikasi Konvensi tersebut. Namun demikian,
motivasi para pencari suaka untuk mencari a
better and safer life adalah juga bagian dari hak-nya sebagai manusia.
Bali Process di sisi lain
menawarkan suatu mekanisme yang tidak mengikat dan tidak menimbulkan kewajiban
secara imperatif kepada negara anggotanya. Sesuai dengan ide utama Konvensi Pengungsi
1951 untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang tergolong ke dalam
kategori ‘pengungsi’, maka melalui RSO Bali
Process dapat lebih meng-address
isu perlindungan terhadap pengungsi selain tetap menggiatkan upaya kriminalisasi
pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari penderitaan ‘pengungsi’ ini. Di
samping itu untuk Indonesia, sebagai ketua bersama, baik pada Bali Process maupun pada koordinasi
antara RSO dan JCLEC, Indonesia berpeluang besar untuk dapat menentukan arah
kerja sama, termasuk untuk mendorong peningkatan kerja sama dan linkage antara RSO dengan berbagai kepentingan
nasional dalam memberantas kejahatan lintas negara terorganisir dan sekaligus
memberikan solusi yang lebih baik kepada pencari suaka maupun pengungsi yang
saat ini bermukim di Indonesia.
Bali Process dapat
menjembatani celah antara rezim perlindungan pengungsi internasional dengan kesiapannya
dari sudut pandang kawasan. Seluruh 46 pasal dari Konvensi Pengungsi dapat diterjemahkan
ke dalam kesanggupan masing-masing negara dalam kawasan untuk menangani
pengungsi secara lebih konsisten. Bali
Process dapat menjadi forum bagi kawasan untuk meredefinisi konsep maupun
menetapkan standard dan norma baru yang lebih cocok dari sudut pandang kawasan
dan kondisi terkini. Pendekatan perlindungan perlu didorong selain penegakkan
hukum, sehingga selain memutus mata rantai eksploitasi terhadapnya, para
pengungsi yang memang melarikan diri dari negara asalnya dengan landasan
ancaman yang nyata pun dapat terlindungi dengan layak.
Referensi
& Related Links:
1.
The
State of The World’s Refugees, UNHCR Office, 2012
2.
Adrianus
Meliala, Pemantapan Legalitas dan Kebijakan Menyangkut Penyelundupan Manusia,
FISIP UI 2011
3.
Tempo
English, Edition Swimming with Sharks, June 11-17, 2012
www.baliprocess.net;
www.unodc.org; www.unhcr.org;
www.imigrasi.go.id
No comments:
Post a Comment