Thursday, May 16, 2013

Bali Process: Antara Rezim Penegakkan Hukum dan Perlindungan di Kawasan


Sejak pertama kali bergulir di tahun 2002, Bali Regional Ministerial Conference on People Smuggling, Trafficking in Persons, and Related Transnational Crime atau yang kemudian lebih dikenal dengan Bali Process telah berhasil menyeragamkam pemahamanan dan membangun saling pengertian di antara negara-negara anggotanya. Permasalahan terkait dengan irregular migration, arus people smuggling dan trafficking in persons di kawasan Asia-Pasifik yang telah disadari tidak dapat ditangani secara parsial, telah mendorong Indonesia bersama dengan Australia untuk menginisiasi mekanisme intra-regional guna mengatasi permasalahan lintas negara bahkan lintas kawasan tersebut. Forum yang terbentuk berupa Regional Consultative Process (RCP) yang sifatnya inklusif dan tidak mengikat, serta bertujuan untuk meningkatkan kerja sama antar-negara dalam mengurangi irregular movement di kawasan.

Sebagai suatu RCP, Bali Process memiliki keunikan yang menjadi keunggulan dibandingkan forum serupa yaitu sebagai satu-satunya yang mempertemukan negara asal, transit dan tujuan dari irregular migration. Bali Process membangun fondasi krusial yaitu rasa ‘confidence’ di antara negara anggota yang tidak lagi saling menyudutkan satu sama lain, namun duduk secara bersama-sama membicarakan permasalahan secara konstruktif dan tanpa paksaan.

Dengan 45 negara dan 3 Organisasi Internasional sebagai anggota, sementara 18 negara menjadi partisipan, dan 10 organisasi internasional lainnya sebagai observer terlibat di dalamnya, Bali Process menjadi forum yang efektif dalam formulasi kebijakan, diseminasi informasi dan transformasi teknologi maupun pembangunan kapasitas antar sesama anggotanya.

Pada dasarnya Bali Process bertujuan untuk mendorong hal-hal seperti (1) pertukaran informasi mengenai irregular migration di kawasan; (2) kerjasama penegakan hukum;  (3) kerjasama sistem perbatasan dan visa untuk mendeteksi dini dan mencegah pergerakan irregular; (4) peningkatan kesadaran bersama di kawasan mengenai kejahatan terkait irregular migration; (5) pembuatan undang-undang  domestik masing-masing negara untuk mengkriminalisasikan penyelundupan dan perdagangan manusia; (6) pendekatan perlindungan terhadap para korban perdagangan manusia terutama perempuan dan anak; (7) penanganan akar penyebab irregular migration; (8) membantu negara anggota dalam asylum management sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Pengungsi.

Latar belakang tersebut sekilas menunjukkan bahwa Bali Process berfokus pada rezim kerjasama penegakkan hukum walaupun juga dalam setiap outcome document-nya disebutkan mengenai perlindungan terhadap korban, baik yang tidak sadar maupun yang secara sadar memanfaatkan sindikat kriminal regional.

BRMC V
Pada bulan April 2013 Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) Bali Process telah diselenggarakan untuk kelima kalinya. BRMC V ini meneruskan konkretisasi hasil PTM sebelumnya yang merumuskan suatu regional cooperation framework (RCF) dengan beberapa prinsip, yaitu (1) memberantas migrasi irregular yang difasilitasi oleh sindikat penyelundup dan seluruh negara anggota diwajibkan mendorong praktik migrasi secara teratur; (2) diharapkan setiap pencari suaka mendapatkan akses yang sama terhadap assessment process di seluruh kawasan (3) barang siapa yang terbukti sebagai pengungsi maka wajib disediakan solusi yang berkelanjutan, yaitu voluntary repatriation, resettlement atau ‘in country solution’; (4) barang siapa yang tidak terbukti sebagai pengungsi harus dikembalikan, terutama atas azas kesukarelaan (5) peningkatkan jaringan pengamanan perbatasan, penegakkan hukum dan ‘disincentives’ bagi para pencari suaka yang memanfaatkan sindikat penyelundup.

Kerangka kerja tersebut telah mengerucut menjadi sebuah Regional Support Office (RSO) yang dikukuhkan dalam BRMC V. RSO yang berlokasi di Bangkok, Thailand, ini berfungsi sebagai institusional memory untuk seluruh kegiatan Bali Process yang diselenggarakan dalam kerangka RCF, serta mengkondisikannya untuk semakin terarah, terstruktur, dan berkesinambungan, walaupun tidak akan merubah ‘nature’ Bali Process sebagai RCP yang bersifat voluntary dan non binding. RSO ini tidak dimaksudkan untuk menjadi Regional Processing Center, atau sebuah pusat untuk menangani Refugee Status Determination (RSD) dalam lingkup kawasan, namun dalam proses pembentukannya asumsi pull factor yang akan timbul pada negara lokasi dapat dipahami. Pull Factor adalah gaya tarik dari negara-negara di kawasan untuk menjadi tujuan maupun transit dari kegiatan irregular migration, salah satunya adalah rezim penanganan yang manusiawi. Indonesia, misalnya, selalu dianggap sebagai safe third countries oleh negara lain di kawasan karena faktor penanganan irregular migration yang manusiawi bahkan sedikit banyak telah memenuhi standar yang diberlakukan dalam Konvensi Pengungsi 1951.

Jika telah berfungsi secara optimal, RSO dapat menjadi titik pusat ‘information sharing’ dalam perlindungan pengungsi maupun migrasi internasional di kawasan. Kerjasama antara RSO dan JCLEC juga berpotensi menjadi pusat pertukaran ‘best practices’ dan  pusat sumber daya teknis di kawasan yang konkrit dan bermanfaat bagi anggota Bali Process. RSO juga diharapkan dapat menjadi pusat koordinasi harian antara negara anggota dalam penyediaan bantuan logistik, administrasi dan operasional penanganan isu penyelundupan manusia dan perlindungan pengungsi yang dikembangkan dalam kerangka kerjasama regional.

Managing Expectation
Delapan pencari suaka, atau lebih tepatnya pendatang gelap dalam terminologi Indonesia, asal Myanmar tewas dalam insiden dengan etnis Rohingya di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Myanmar, Medan, Sumatera Utara. Mengesampingkan faktor penyebab tragedi 5 April 2013 ini, Rudenim Belawan berada dalam kondisi ‘overcrowded’ dan ‘understaffed’. Fasilitas tersebut didisain untuk 50 pelanggar keimigrasian, namun saat ini harus menampung tidak kurang dari 480 orang.

Tidak lama setelah insiden tersebut, tragedi terkait irregular migration memunculkan jumlah korban yang lebih memperihatinkan yaitu kejadian tenggelamnya kapal yang bermuatan 72 pencari suaka dari Afghanistan, dimana pada tanggal 15 April 2013 hanya terdapat 14 yang berhasil diselamatkan penduduk setempat bersama Tim SAR. 58 penumpang lainnya hingga dua minggu setelah tenggelamnya kapal belum dapat ditemukan.

Kejadian-kejadian ini menambah panjang daftar insiden yang disebabkan oleh irregular migration di Indonesia. Data resmi tahun 2012 mencatat terdapat 7.218 pencari suaka yang terdaftar berada dalam wilayah yuridiksi Indonesia, sementara jumlah resettlement dan voluntary return semakin berkurang menjadi hanya sejumlah berturut-turut 247 dan 190 pengungsi di tahun 2012. Jumlah ini, secara wajar semakin menuntut perhatian yang lebih daripada sebelumnya, dimana terdapat sebagian pendapat yang mendorong aksesi Indonesia kepada Konvensi Pengungsi 1951 akan menjadi solusi setidaknya secara domestik. Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemlu, Febrian Ruddyard, berpandangan bahwa tantangan terbesar bagi Bali Process adalah menyelaraskan antara berbagai harapan publik dengan jalannya proses diplomasi  yang dalam beberapa hal menjadi lebih efektif dibandingkan legally binding forum, termasuk dalam isu irregular migration.

Penyelenggaraan PTM sejak 2002 yang hampir selalu diawali oleh insiden irregular migration menimbulkan persepsi bahwa Bali Process merupakan ‘incident driven forum’, terutama insiden terkait people smuggling by sea. Pada tahun 1999, 2000 dan 2001 secara berturut turut terdapat 3.721, 2.939 dan 5.516 pencari suaka yang menggunakan 86, 51 dan 43 kapal menyabung nyawa melalui laut menuju Australia atau Selandia Baru. Arus berbahaya perjalanan migran ini sempat terhenti dan akhirnya meningkat kembali pada tahun 2009 dan 2010 sebanyak 2.849 dan 6.879 pencari suaka dan/atau pengungsi dengan menggunakan 61 dan 134 kapal memutuskan untuk mengambil jalan pintas menuju negara tujuan mereka. Selain rezim perlindungan terhadap pengungsi yang telah baik di Australia, keberadaan keluarga dari sebagian pengungsi atau pencari suaka mengkondisikan mereka untuk menyusul ke Australia.

Sementara dari sudut pandang lain, respon cepat pada level pejabat setingkat Menteri untuk dapat berkumpul bersama dan menghasilkan keputusan politik dengan bobot yang tinggi merupakan hal yang positif. Bali Process juga tidak sekedar PTM, namun komunikasi pada level High Level Officials, maupun pada level praktisi dan juga para ahli untuk sharing best practices dan mengembangkan kapasitas bersama, telah terjalin dan terjadwal secara berkesinambungan.   Selain itu, Bali Process juga telah bergerak pada level operasional yang ditunjukkan dengan kerjasama RILON, dimana negara anggota dapat secara cepat bertukar informasi sehingga dapat mengantisipasi segala ancaman dan resiko yang berpotensi muncul.

Partisipasi aktif dan kepemimpinan Indonesia pada Bali Process akan memberikan manfaat langsung dalam menghadapi masalah dan ancaman yang dimunculkan oleh penyelundupan manusia dan juga perdagangan orang, yaitu terutama melalui pertukaran informasi, pengembangan jejaring dan kerja sama internal maupun eksternal antar lembaga negara. Selain itu segala kegiatan di dalam Bali Process akan semakin memperkuat upaya Indonesia dalam meningkatkan kesadaran masyarakat pesisir di Indonesia sehingga mereka terhindar dari jeratan melakukan kejahatan penyelundupan manusia dan perdagangan orang.

10 Tahun Bali Process dan dilema penanganan isu penyelundupan manusia.
Dengan letak geografis yang strategis dan luas wilayahnya yang besar, Indonesia lebih merupakan negara transit bagi kegiatan penyelundupan manusia namun seiring dengan perkembangan politik kawasan, Indonesia juga telah menjadi negara tujuan pencari suaka. Etnis Rohingya adalah salah satu kelompok pencara suaka yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan, walaupun hal ini masih dapat diperdebatkan, pelarian tidak hanya karena kedekatan secara geografis namun juga karena sentimen persamaan agama.

Peringatan 10 tahun Bali Process pada November 2012 memberikan harapan positif bagi penanganan permasalahan people smuggling dan kejahatan lintas negara terorganisir lainnya. Tetap bertahan dan aktifnya forum ini sendiri merupakan indikator positif terhadap upaya diplomasi di kawasan. Selain itu rasa saling percaya dan menghormati dari masing-masing negara untuk tidak saling menyalahkan dan komitmen untuk terus mengatasi permasalahan secara bersama-sama menjadi asset berharga Bali Process. Baik negara asal, transit maupun tujuan memiliki keinginan yang semakin kuat dalam berbagi beban (burden sharing) dalam lingkup kawasan. Secara lebih konkrit pertukaran data dan informasi di antara negara anggota telah terbina dan telah mampu mencegah atau bahkan menyelesaikan kasus per kasus permasalahan people smuggling.

Rasa saling menghargai ini salah satunya tercermin ketika Bali Process membahas permasalah irregular migrants yang berasal dari Myanmar, dalam hal ini etnis Rohingya. Diskusi Bali Process tidak diarahkan untuk mengecam atau menekan Myanmar sebagai negara asal, namun dibicarakan dalam konteks tanggung jawab (burden sharing) negara asal, transit dan tujuan termasuk addressing root causes. Karena ketika rekomendasi forum terhadap isu dimaksud terbentuk, Myanmar sebagai negara asal tidak merasa dihakimi karena mereka juga dilibatkan sebagai bagian dari solusi. Bali Process memungkinkan Myanmar untuk duduk bersama dalam satu kesempatan dengan Bangladesh, India, Malaysia, Thailand, dan Republik Rakyat Tiongkok serta Indonesia, sebagai negara-negara yang terkait dengan isu Rohingya, sehingga dapat menghasilkan solusi komprehensif yang dapat diterima oleh semua pihak. Terbangunnya rasa kepercayaan di antara negara-negara anggota dan pihak-pihak terkait menipiskan ‘lack of trust’ diantara berbagai negara dan institusi-institusi terkait isu kejahatan lintas negara terorganisir, khususnya penyelundupan manusia.

Isu Pengungsi di Indonesia
Seperti telah dibahas sebelumnya, walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB menentang Transnational Organized Crime (UNTOC) dan protokolnya yang terkait dengan penyelundupan manusia serta menterjemahkannya dalam UU Imigrasi terbaru, yaitu UU nomor 6 tahun 2011, namun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi (Refugee Convention 1951). Aturan hukum bagi para ‘merchants of misery’ ini memang sudah jelas, namun bagi para pencari suaka ataupun mereka sudah sudah memiliki status pengungsi dari United Nation High Commissioner for Refugee (UNHCR), belum terdapat status maupun aturan hukum yang jelas.

Dari sudut pandang hukum, untuk meratifikasi sebuah konvensi internasional, pemerintah wajib menerapkan azas 4 aman, yaitu aman secara politis, national security, yuridis, dan aman secara teknis. Aman secara politis berarti instrumen hukum internasional dimaksud tidak bertentangan dengan Politik Luar Negeri dan kebijakan Hubungan Luar Negeri Pemerintah Republik Indonesia. Aman dari sudut pandang national security dimaksudkan agar menjadi pihaknya Indonesia tidak mengganggu atau mengancam stabilitas dan keamanan dalam negeri. Aman secara yuridis berarti tidak ada pertentangan dengan hukum nasional dan tidak pula bertentangan dengan Perjanjian Internasional lainnya bilamana Indonesia menjadi pihaknya. Sementara aman secara teknis berarti seluruh instansi pemerintah terkait dapat melaksanakan segala kewajiban yang timbul atau secara teknis tidak menyulitkan ketika Indonesia memutuskan menjadi pihak instrumen hukum internasional tersebut.

Dari sisi kemanusiaan, Indonesia telah secara historis mengakomodasi keberadaan pengungsi untuk sementara berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Didirikannya Pusat Pemrosesan Pengungsi di pulau Galang sejak 1979 hingga resmi ditutup pada tahun 1996 serta tidak diterapkannya ‘blanket mechanisme´, sebuah aturan tidak tertulis bahwa para pencari suaka dan pengungsi yang berada di suatu wilayah untuk tidak dibatasi ruang geraknya, maupun penghormatan terhadap azas ‘non-refoulment’ menunjukkan betapa manusiawinya perlakuan pemerintah Indonesia terhadap mereka.  Selain itu, jika merujuk pada tindakan Australia pada tahun 2009 ketika mereka menggiring kapal bermuatan 254 pengungsi Sri Lanka dan juga mengirim balik 78 lainnya dengan kapal berbendera Australia, Oceanic Viking, menunjukkan bahwa Indonesia  termasuk ke dalam kategori ‘safe third country’ yang dirumuskan dalam Michigan Guidelines on Protection Elsewhere. Indonesia yang telah meratifikasi dan comply terhadap kewajiban beberapa traktat Hak Asasi Manusia internasional, serta telah terbukti memiliki ‘good faith’ dalam penanganan pengungsi secara hukum memenuhi syarat sebagai negara yang dapat ditinggali oleh para pengungsi.

Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokolnya tahun 1967 memang didisain untuk mengatasi permasalahan pengungsi pasca perang dunia II, dan merupakan salah satu konvensi internasional terawal yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sementara itu, baik pencari suaka maupun pengungsi sejak awal abad XXI lebih banyak termotivasi oleh latar belakang ekonomi, walaupun tetap terkait juga dengan permasalah politik dan keamanan. Ide awal untuk memberikan perlindungan internasional bagi para pengungsi ternyata menjadi beban tersendiri bagi negara-negara tradisional tujuan pengungsi, sehingga muncul kejenuhan dan memaksa sebagian di antaranya untuk membentuk mekanisme untuk menghindari kewajiban Konvensi. Belum terciptanya mekanisme burden sharing yang jelas juga menjadi demotivasi bagi negara-negara yang belum meratifikasi Konvensi tersebut. Namun demikian, motivasi para pencari suaka untuk mencari a better and safer life adalah juga bagian dari hak-nya sebagai manusia.

Bali Process di sisi lain menawarkan suatu mekanisme yang tidak mengikat dan tidak menimbulkan kewajiban secara imperatif kepada negara anggotanya. Sesuai dengan ide utama Konvensi Pengungsi 1951 untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang tergolong ke dalam kategori ‘pengungsi’, maka melalui RSO Bali Process dapat lebih meng-address isu perlindungan terhadap pengungsi selain tetap menggiatkan upaya kriminalisasi pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari penderitaan ‘pengungsi’ ini. Di samping itu untuk Indonesia, sebagai ketua bersama, baik pada Bali Process maupun pada koordinasi antara RSO dan JCLEC, Indonesia berpeluang besar untuk dapat menentukan arah kerja sama, termasuk untuk mendorong peningkatan kerja sama dan linkage antara RSO dengan berbagai kepentingan nasional dalam memberantas kejahatan lintas negara terorganisir dan sekaligus memberikan solusi yang lebih baik kepada pencari suaka maupun pengungsi yang saat ini bermukim di Indonesia.

Bali Process dapat menjembatani celah antara rezim perlindungan pengungsi internasional dengan kesiapannya dari sudut pandang kawasan. Seluruh 46 pasal dari Konvensi Pengungsi dapat diterjemahkan ke dalam kesanggupan masing-masing negara dalam kawasan untuk menangani pengungsi secara lebih konsisten. Bali Process dapat menjadi forum bagi kawasan untuk meredefinisi konsep maupun menetapkan standard dan norma baru yang lebih cocok dari sudut pandang kawasan dan kondisi terkini. Pendekatan perlindungan perlu didorong selain penegakkan hukum, sehingga selain memutus mata rantai eksploitasi terhadapnya, para pengungsi yang memang melarikan diri dari negara asalnya dengan landasan ancaman yang nyata pun dapat terlindungi dengan layak.

Referensi & Related Links:
1.      The State of The World’s Refugees, UNHCR Office, 2012
2.      Adrianus Meliala, Pemantapan Legalitas dan Kebijakan Menyangkut Penyelundupan Manusia, FISIP UI 2011
3.      Tempo English, Edition Swimming with Sharks, June 11-17, 2012
www.baliprocess.net; www.unodc.org; www.unhcr.org; www.imigrasi.go.id

No comments: