Thursday, May 16, 2013

Prof. Sri Suryawati: Kebanggaan Indonesia di tengah sorotan tajam pendekatan drugs legalization terhadap INCB


Srikandi Terkini Indonesia
Indonesia tengah berbangga ketika seorang putri terbaiknya bernama Sri Suryawati, berhasil terpilih menjadi anggota International Narcotics Control Board (INCB). INCB adalah lembaga pengawas independen dan bersifat quasi-judicial yang mencermati implementasi berbagai konvensi PBB terkait narkotika dan obat-obatan oleh para negara pihak. Berdiri pada tahun 1968 sebagai mandat dari Single Convention on Narcotics Drugs Tahun 1961 untuk menyederhanakan mekanisme pengawasan internasional, INCB sebenarnya telah memiliki akar organisasi sejak era Liga Bangsa-Bangsa.

Keanggotaan INCB terdiri dari 13 pakar yang dipilih oleh Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) berdasarkan kapasitas pribadi mereka, bukan berdasarkan perwakilan maupun komposisi percaturan politik dari negara anggota. Tiga diantaranya, termasuk Prof. Sri Suryawati, merupakan pakar yang dipilih khusus karena keahliannya dibidang medis, farmakologi dan farmasi melalui rekomendasi dan nominasi dari World Health Organization (WHO).

Prof. Suryawati adalah ahli farmakologi dengan spesialisasi dalam clinical pharmacokinetics dan mendapatkan gelar Guru Besarnya dari Universitas Gajah Mada (UGM). Saat ini beliau juga merupakan Kepala Pusat Studi Farmakologi Klinis dan Kebijakan Obat pada Fakultas Kedokteran UGM. Dari segi pengalaman internasional, sejak tahun 1999 beliau telah menjadi WHO Advisory Panel on Medicine Policy and Management, Dewan Eksekutif pada International Network for Rational Use of Drugs (INRUD) sejak 2005 dan juga Wakil Presiden INCB sekaligus Ketua Standing Committee on Estimates INCB tahun 2010.

Dalam pemilihan di Markas PBB, New York, tanggal 25 April 2013 tersebut, Prof. Suryawati berhasil meraih 42 suara dari 54 negara anggota ECOSOC, sedangkan dua pesaingnya dari Estonia dan Suriah masing-masing hanya mendapatkan lima suara. Pemilihan ini merupakan special session, sesuai dengan pasal 10 paragraf 5 dari Konvensi 1961, dikarenakan Prof. Hamid Ghodse, salah satu anggota INCB dari Iran yang dinominasikan WHO meninggal dunia pada bulan Desember 2012. Prof. Ghodse terpilih untuk periode 5 tahun sejak 2012, sehingga Prof. Suryawati akan menggantikannya pada sisa masa keanggotaan hingga 1 Maret 2017.

Mengutip Wakil Tetap RI untuk PBB, Duta Besar Desra Percaya, “Terpilihnya Profesor Suryawati tidak hanya menunjukkan pengakuan atas kepakaran beliau pada isu kerjasama internasional dalam pengawasan narkotika, namun juga mencerminkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap peran dan kontribusi Indonesia di berbagai kerjasama internasional dalam kerangka PBB.”

Sejumlah negara berharap duduknya Indonesia pada INCB akan memajukan kerjasama penanganan pengawasan obat-obatan narkotik di tingkat internasional. Selain membawa nama bangsa Indonesia dan kapasitas pribadi beliau, Prof. Suryawati juga mendapatkan tugas berat untuk menegaskan citra positif INCB di tengah berbagai kritik terhadapnya.

Kritik terhadap independensi INCB
Laporan tahunan INCB adalah referensi valid bagi tiap pemerintah dalam mengambil kebijakan terhadap kondisi narkoba terkini baik di kawasan maupun secara global. Laporan ini merupakan intisari dari laporan resmi masing-masing negara mengenai trend lalu-lintas maupun penyalahgunaan narkoba dari masing-masing negara. Laporan untuk Tahun 2012 telah secara resmi diterbitkan pada bulan Maret 2013. Namun, laporan ini mendapat kritik keras dari kalangan yang mengadvokasi legalized use of drugs dengan mendengungkan bahwa terdapat indikasi bias dan kelalaian dalam laporan tersebut yang melemahkan upaya perang terhadap penyalahgunaan narkoba. Pertanyaan klasik yang timbul adalah juga adalah ‘siapa yang mengawasi lembaga pengawas peredaran obat-obatan internasional tersebut?’

Hasil kerja INCB dimaksudkan untuk menjamin keseimbangan dalam kontrol obat-obatan dan ketersediaan legal narcotics yang dipergunakan untuk alasan medis dan kesehatan. Namun laporan tersebut dikritik memberikan penekanan yang lebih berat pada sisi penghukuman. Laporan kunjungan INCB ke berbagai negara selama tahun 2012 juga kurang menghasilkan inovasi yang mampu meningkatkan respon negara-negara tersebut untuk mengurangi penyalahgunaan narkoba dan menangani mantan pecandu narkoba.

Dalam laporannya yang mengkritik praktik penggunaan marijuana untuk alasan medis, INCB juga tidak menunjukkan keseriusan yang lebih. INCB memang menjelaskan tentang bahaya sosial dan telah mengecam selebritas dan tayangan yang menampilkan penggunaan marijuana, namun dalam kasus Kanada tidak ada basis data dan penelitian yang detail. Kanada telah melegalkan penggunaan marijuana dengan resep yang digunakan untuk mengurangi efek rasa sakit dan meningkatkan nafsu makan, namun jika INCB berniat untuk memberikan kritik keras maka dibutuhkan studi kasus maupun bentuk-bentuk catatan kaki lainnya untuk memperkuat argumen mereka, namun pada laporan tahun 2012 hal ini tidak ditemukan.

Para penganut pendekatan harm reduction mengajukkan kritik yang lebih tajam kepada kinerja INCB. Laporan INCB mengenai ekspor illegal methadone dari Latvia yang diproduksi oleh beberapa laboratoriumnya menuju Rusia merupakan salah satu subjek yang tersorot. INCB melupakan, atau tidak menyebutkan bahwa methadone dan buprenorphine  adalah zat-zat yang terlarang di Russia di tengah epidemi AIDS di negara tersebut yang terkonsentrasi di antara para pengguna narkoba. Kedua zat tersebut oleh WHO telah dinyatakan sebagai zat yang esensial untuk mengurangi metode suntik heroin dan mengobati HIV. Para ahli, termasuk yang bertugas di UN Office on Drugs and Crime (UNODC) telah sepakat dalam penilaian mereka bahwa kedua zat tersebut sangat dibutuhkan untuk penyembuhan mereka yang kecanduan heroin. INCB, sebagai institusi internasional yang independen, seharusnya dapat juga mengarahkan kritiknya kepada Russia disamping hanya berhenti kepada Latvia yang melakukan praktik perdagangan illegal dan tidak menyentuh sisi lainnya yang masih terkait.

Selain itu dilaporkan juga terdapat 220.000 orang yang sedang menjalani proses rehabilitasi pada compulsory treatment centers’ di China. Namun, seperti halnya laporan tentang Russia, INCB memilih untuk tidak melaporkan mengenai keadaan para penghuni center-center dimaksud. Hal ini sangat mengejutkan memperhatikan bahwa UNODC dan beberapa LSM internasional telah merekomendasikan untuk menutup tempat-tempat tersebut. Center tersebut juga lebih bersifat sebagai tempat detensi dan tidak terdapat bukti meyakinkan bahwa proses rehabilitasi berjalan efektif. Pelanggaran HAM juga diindikasikan telah terjadi kepada para penghuninya dimana terdapat mekanisme kerja paksa dan beberapa bentuk penyiksaan yang dapat dikategorikan melanggar hukum internasional.

Pusat-pusat rehabilitasi yang didisain lebih seperti tempat detensi mengkondisikan penghuninya untuk berada pada ruangan terkunci. Laporan country visit INCB ke Peru ternyata juga tidak menyebutkan tragedi tewasnya 14 pecandu narkoba pada pusat rehabilitasi terkunci. Kejadian tersebut terjadi hanya beberapa bulan sebelum kunjungan tim ahli INCB, bahkan beberapa hari setelah kunjungan berakhir, sejumlah warga negara Peru kembali tewas pada kebakaran di ‘religious therapeutic community’, suatu komunitas rehabilitasi yang menggunakan pendekatan religius. Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Russia, Kazakhstan dan beberapa negara lain dimana sistem yang mewajibkan pintu dan jendela terkunci pada pusat rehabilitasi berakibat fatal. INCB juga tidak memberika komentar terhadap ‘religious therapeutic communities’ yang memiliki standar klinis yang buruk dan banyak terdapat tanda-tanda pelanggaran HAM.

LSM internasional yang bergerak di bidang HAM dan mereka yang anti terhadap hukuman mati juga melancarkan kritik terhadap laporan INCB 2012. Kritik diarahkan pada laporan kunjungan ke Arab Saudi di tahun 2012, dimana INCB memuji komitmen Pemerintah Raja Abdullah dalam memerangi penyalahgunaan narkoba, namun tidak memberi catatan mengenai penghukuman mati terhadap 16 penyalahguna narkoba, bahkan beberapa diantaranya adalah penyalahguna dengan kategori ringan. The UN Human Rights Committee telah mengecam pemberlakuan hukuman mati  bagi penyalahguna narkoba, yang merupakan efek paling mengerikan dan salah sasaran dalam perang melawan narkoba.
Laporan Tahunan INCB 2012 juga dianggap tidak memiliki bobot dibandingkan dengan laporan serupa dari the Special Rapporteur on Torture yang dipublikasikan pada minggu yang sama. Dalam laporan dimaksud, Human Rights Council mencatat bahwa ‘drug detention centers’ di beberapa negara bertanggung jawab atas perlakuan yang kejam, tidak berperikemanusiaan dan sangat merendahkan. Dalam laporan tersebut juga disinggung mengenai pelarangan atau ilegalisasi methadone dan buprenorphine juga dianggap tidak berperikemanusiaan.

Mandat konvensi, integritas dan kapasitas pribadi
INCB beroperasi sesuai dengan mandat konvensi. Baik UN Single Convention on Narcotics Drugs, 1961, UN Convention on Psychotropic Substances, 1971 dan UN Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988, melarang penggunaan narkoba jenis kokain, opium dan ganja selain untuk tujuan medis atau penelitian. Sementara dari sisi pendekatan harm reduction dan legalized drugs, ketiga konvensi tersebut harus dimofifikasi sesuai dengan interpretasi mereka terhadap hak asasi manusia. Prof. Sri Suryawati yang diharapkan dapat menjadi pakar yang bebas nilai dan pengaruh politis berperan besar untuk menegaskan kembali bahwa INCB tidak memihak atau tunduk pada tekanan negara atau kelompok lobby tertentu, namun bekerja sesuai dengan mandatnya. Terhadap harm reduction, walaupun tidak ada definisi global untuk istilah ini, upaya minimalisir efek buruk terhadap pengguna narkoba yang tidak mampu untuk keluar dari jerat narkoba tetap dianggap sebagai upaya yang bertentangan dengan program ‘demand reduction’. Ketiga konvensi narkoba tersebut memiliki nilai, standard dan norma yang telah disepakati secara internasional sesuai dengan keadaannya saat ini, dengan tidak mengesampingkan pandangan-pandangan lain, INCB tetap akan mempertimbangkan kekinian isu dan asumsi-asumsi baru yang berkembang. Namun, selama kritik yang muncul bukanlah pandangan umum secara global saat ini, salah satunya seperti pendekatan yang bertujuan untuk melegalkan penggunaan narkoba secara lebih liberal, maka oleh karena itu sesuai dengan mandat konvensi sebagai wujud konsistensi, pendekatan di luar nilai-nilai konvensi tidak akan diakomodir dalam Laporan Tahunan INCB.

Disamping itu, laporan tahunan yang dikeluarkan oleh INCB juga merupakan laporan resmi dari masing-masing negara. Setiap negara memiliki kewajibannya masing-masing untuk mengawasi dan mengontrol peredaran narkoba pada wilayah yurisdiksinya. Mekanisme kunjungan atau country mission INCB juga berdasarkan komposisi kawasan, program-program terkini maupun isu yang membutuhkan perhatian segera, dimana bentuk pelaporannya dalam kerangka treaty compliance atau kepatuhan terhadap konvensi dari negara-negara yang dikunjungi. Country mission juga memungkinkan INCB untuk mendapatkan informasi kelas satu selain dapat bertemu langsung dengan institusi negara yang kompeten dalam penanganan penyalahgunaan narkoba. Kunjungan juga dimaksudkan untuk menstimulasi dan mendorong komitmen maupun program-program baru yang dapat dimunculkan di suatu kawasan atau negara tertentu. Dalam hal ini, kemampuan persuasi dari anggota-anggota INCB menjadi sangat signifikan disamping imparsialitas mereka. Negara yang dikunjungi dan menerima rekomendasi dari INCB akan secara wajar memiliki kecurigaan dengan agenda yang mungkin dibawa dari masing-masing anggota, namun integritas para anggotanya akan dapat dibuktikan melalui rekam jejak selama karier profesionalnya, dan dalam hal ini Prof. Suryawati memiliki track record yang baik.

Kapasitas Prof. Suryawati sebagai ahli dibidangnya telah dibuktikan dengan dikukuhkannya beliau sebagai guru besar dan tetap aktif dalam dunia akademisi baik sebagai peniliti maupun pembimbing calon guru besar. Dalam kapasitasnya sebagai ahli farmakologi internasional, Prof. Suryawati juga aktif sebagai peniliti dan juga duduk dalam kepengurusan lembaga-lembaga internasional terkait kesehatan dan obat-obatan.

Dalam kebijakan nasional penanggulangan penyalahgunaan narkoba, Indonesia berprinsip bahwa mencegah arus keluar masuk narkoba dan prekursornya secara illegal adalah prioritas utama, bahkan arus keluar masuk yang legal pun diawasi secara ketat. Untuk itu Indonesia berprinsip pada pendekatan berimbang antara “supply and demand reduction” secara komprehensif dan terintegrasi. Indonesia juga berprinsip pada permasalahan narkoba sebagai “shared responsibility” yang harus ditangani secara bilateral, regional maupun multilateral. Mengingat aspek transnasionalnya ini, kerjasama internasional merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh setiap negara. Prinsip kerjasama tersebut pun jelas, yakni to regulate, to combat illicit drugs trafficking, to deter drugs abuse, and to make sure the legal narcotics use. Garis besar kebijakan ini juga akan dibawa oleh Prof. Sri Suryawati dalam masa baktinya sebagai anggota INCB untuk menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan mandat konvensi, keberadaan beliau dengan rekam jejaknya yang positif juga akan meminimalisir tuduhan bias dalam setiap laporan maupun rekomendasi yang dikeluarkan oleh INCB.

Referensi & related links:

1.      Report of the International Narcotics Control Board for 2012

2.      Daniel Wolfe,  Is the INCB Dangerous to Your Health? 3 April 2013, The Huffington Post.

3.      Open Society Institute, Closed to Reason: The International Narcotics Control Board and HIV/AIDS.
www.incb.org; www.bnn.go.id; www.depkes.go.id

No comments: